South East Asia Trip - Part 2


Senin, 13 Februari 2012
Hari ini adalah jadwal gw ketemuan sama Mete dan Neneng di HCMC, rencananya mereka akan tiba di HCMC sekitar pukul 09.00 dari Singapura. Gw janjian di depan hotel mereka (gang hotel mereka cuma berjarak sekitar 10 meter dari hotel gw) jam 09.00.

Paginya sekitar pukul 07.00 gw sarapan di 7eleven di sebelah hotel. Gw makan mie instan yang ada logo halalnya seharga VND 7.000. Abis makan gw muter-muter dikit di sekitar hotel sambil nunggu ketemuan sama Mete jam 09.00 di hotel mereka. Gw sempet isi pulsa vinacell gw juga sebanyak VND 50.000.

Tapi sampe jam 09.30, mereka nggak juga nongol sampe akhirnya gw dapet kabar bahwa: Mete dan Neneng ketinggalan pesawat di Singapura.. Doooonnngggggg..!!! aya-aya wae nyak.. Mereka akan naik pesawat berikutnya jam 11.00 dari singapura, dan janjian ketemuan di hotel mereka jam 14.00.

Akhirnya gw jalan-jalan sendirian lagi. Kali ini gw iseng naik bis tanpa tau tujuan akhir bis tersebut. Gw naik bis yang ternyata menuju district 4 dengan tarif VND 4.000. Di perjalanan gw nemu semacem taman yang agak rame. Lalu turunlah gw di taman tersebut sambil foto-foto. Di tempat yang sama gw juga iseng masuk ke kampung-kampung sekitar. Bentuknya nggak jauh beda sama Jakarta.

Kampung di District 4

Sekitar jam 13.00 gw kembali ke District 1. Gw muter-muter ngelewati Art Museum dan minum Kopi tradisional Vietnam yang ada di kaki lima gitu seharga VND 10.000. Rasanya: super enak, asli lebih enak dari starbucks. Belom ke Vietnam kalau belum nyobain kopi ini.

Kopi Tradisional Vietnam

Selanjutnya gw makan siang di KFC yang berbeda dengan yang kemarin. Kali ini cukup beli paket dengan filet ayam, alih-alih satu potong ayam. Harganya VND 39.000, jauh lebih murah.

Waktu mendekati pukul 14.00 untuk janjian sama mete di hotelnya. Sebelumnya gw juga beli tiket Bis ke Pnom Penh keesokan harinya dengan keberangkatan pukul 06.45 seharga VND 210.000. Gw beli tiket bis di travel agent Lachongtours di sebelah hotel gw. Lanjut gw balik ke hotel untuk shalat zuhur dan ashar.

Jam 14.00 gw ketemuan sama mete di Buffalo Pub. Sedikit berbasa-basi dan ngecengin masalah ketinggalan pesawat, kita lanjut menuju Reunification Palace.

Reunification Palace adalah bekas istana pemerintahan Vietnam. Dari Bui Vien street dapat ditempuh dengan jalan kaki santai selama sekitar 30 menit. Tarif masuknya VND 30.000.

Reunification Palace

Lanjut kita menuju War Remnant Museum yang terletak sekitar 10 menit jalan kaki dari Reunification Palace. War Remnant Museum ini adalah musum yang menyimpan cerita dan sisa-sisa perang Vietnam lawan AS dulu. Tarif masuknya VND 15.000. Kita nggak terlalu lama di sini karena museumnya tutup jam 17.00.

Mayat Bayi Korban Perang Vietnam yang Diawetkan

Dari War Remnant Museum kita lanjut ke Notre Dame Cathedral yang juga cuma berjarak sekitar 300 meter dari Reunification Palace. Disini kita foto-foto di depan gereja. Tiba-tiba ada seorang ibu random naik motor, trus dia berhenti, turun dari motor, dan berdoa di pinggir jalan sambil menghadap patung bunda maria yang ada di depan Cathedral. Selanjutnya kita foto-foto di depan Kantor Pos yang letaknya persis di sebelah kanan Cathedral tersebut.

Notre Dame Cathedral dan General Post Office

Setelah dari Kantor Pos, kita jalan kaki menuju Ben Thanh Market untuk makan malam. Sekitar 30 menit jalan kaki, pukul 19.00, kita sampe di Ben Thanh Market untuk nyari Mie Pho yang halal. Sayang sekali setelah beberapa kali tawaf di Ben Thanh Market, semua restoran yang menjual Mie Pho juga menjual babi. Jadinya kita cuma beli buah-buahan segar aja sebagai pengganti makan malam.

Di jalan di samping Ben Thanh Market ini kalau malem berubah jadi pasar malem. Jalanannya ditutup dan diisi dengan pedagang-pedagang yang jualan berbagai macam makanan, souvenir, pakaian, dll.

Di pasar malam ini gw beli magnet kulkas berbentuk sepasang orang dengan pakaian tradisional Vietnam untuk oleh-oleh GHK seharga total VND 75.000 sama miniatur kapal Vietnam dari besi seharga VND 50.000.

Di perjalanan dari pasar kembali ke hotel, lagi-lagi mata gw yang tajam menangkap papan restoran halal yang menjual Mie Pho. Letaknya sekitar 200 meter di sebelah kanan Ben Thanh Market atau tepat di seberang taman. Ternyata yang punya adalah orang Malaysia juga. Mie Pho (dalam bahasa tradisional dibaca “Phe Bwa”) semangkuk seharga VND 90.000, lumayan lah rasanya, setidaknya udah pernah makan Mie Pho di tempat aslinya.

Setelah makan mie, kita nongkrong bentar di warung kopi kaki lima yang ada di sebrang taman. Gw beli kopi susu seharga VND 15.000. Rasanya sama enaknya. Super banget deh kopi Vietnam ini. Nggak heran kalau orang viet sangat suka nongkrong di warung kopi.

Ngopi Lagi

Setelah ngopi, kita balik ke hotel masing-masing, packing, dan istirahat.


Kesimpulan yang bisa gw dapet selama dua hari di Vietnam ini adalah: kota yang semrawut tapi cantik. Baik gedung-gedungnya, dan mbak-mbak asli sana juga cantik-cantik, hehehe.. Chinese nggak, melayu juga nggak. Semacem melayu blasteran Chinese gitu deh. Orang-orang disini juga ramah-ramah sama turis meskipun sangat sulit berkomunikasi akibat kendala bahasa.

Datanglah ke Vietnam kalau pengen ngerasain perasaan “kaya” yang dirasakan sama bule yang datang ke Indonesia. Tingkat harga di Vietnam kurang lebih separonya Jakarta.


Selasa, Valentine’s Day, 2012
Jam 6 pagi gw udah bangun, mandi, packing, check-out, lanjut sarapan mie instan di 7eleven disamping hotel lagi.

Sekitar jam 06.30 setelah selesai makan, gw balik ke depan hotel untuk ketemuan sama Mete dan Neneng nungguin jemputan menuju meeting point bis ke Phnom Penh.

Jam 06.30 tepat sebuah Toyota Commuter menjemput kami bertiga menuju Meeting Point Bis. Agen Bis yang kita pake adalah Soraya Transport dengan bis No. 186 rute Ho Chi Minh City ke Phnom Penh seharga VND 210.000 per orang. Bis ini defaultnya adalah bis double decker, tapi bagian bawah dimodifikasi jadi hanya untuk toilet dan bagasi. Seluruh penumpang menempati lantai dua dengan formasi tempat duduk dua-dua, lengkap dengan reclining seat dan air mineral.

Dua Gudang Makanan Gw di Bis Menuju Phnom Penh

Jam 06.40 kita tiba di meeting point di jalan Pham Ngu Lao dan langsung boarding. Kita adalah grup terakhir yang sampe di meeting point, sehingga bis bisa langsung berangkat on-time jam 06.45.

Sekitar 5 menit setelah bis berangkat, kondektur bis mulai mengumpulkan paspor para penumpang. Bagi penumpang yang membutuhkan visa, si kondektur juga memungut biaya visanya. Tujuannya pengumpulan paspor ini adalah sebagai salah satu service bis untuk ngantriin masing-masing paspor, jadi nanti di border kita tinggal nunggu nama kita dipanggil dengan manis aja.

Setelah beberapa jam perjalanan, sampailah bis di border Vietnam. Disini semua penumpang harus turun tanpa harus membawa barang bawaannya. Awalnya agak khawatir karena kita ngantri di Imigrasi tanpa membawa paspor. Ternyata kondektur kita tadi memang sudah mengorganisir pengecapan “Departed” masing-masing paspor sehingga kita nggak perlu ngantri dan “senyum” sama petugas imigrasi. Cukup tunggu sampe nama kita dipanggil, lewatlah kita dari imigrasi tersebut.

Setelah nama gw dipanggil, gw sempet ngisi arrival dan departure cardnya Kamboja. Lalu kita naik ke Bis lagi untuk beberapa menit, lalu sampailah kita di border Kamboja. Disini semua penumpang kembali harus turun, tapi kali ini kita megang paspor masing-masing, nggak dikoordinir sama kondektur lagi.

Setelah dapet cap “Arrived”nya Kamboja, bis jalan beberapa menit untuk kemudian berhenti di sebuah rest area selama 30 menit. Disini gw beli jagung rebus seharga USD 1. Jagungnya beda sama jagung yang ada di Jakarta, padet banget kayak makan ketan. Biasanya gw makan satu biji belom kenyang, ini ngabisin satu jagung aja setengah mati.

Oia, di kamboja mata uang yang lazim dipake untuk bayar adalah US Dollar (USD), tapi kembaliannya baru pake Riel Kamboja (KHR), unik yah..

Di perjalanan, bis sempat nyebrang sungai Mekong dengan menggunakan Feri. Sepanjang perjalanan juga bisnya nyetel film local dengan bahasa Khmer. Yang bisa gw denger cuma “eng mekeng kung eng menyeng kuyang eng eng ting krueng eng..” dengan logat perempuan yang cukup monotone, maksudnya ibarat ngedengerin suara penyanyi india dari tahun 1945 sampe sekarang serupa, nah intonasi perempuan tersebut dari awal film sampe akhir film ngggaaaakkkk berubah.. Asli..

Sekitar jam 14.00 bis tiba di terminal bis Phnom Penh. Nggak beda dengan kota-kota berkembang di Sumatra. Begitu kita turun, penumpang langsung diserbu sama supir tuktuk. Persis di terminal bis Jakarta, bedanya, gw gak ngarti apa yang mereka omongin, hahaha..

Sebelum meninggalkan terminal untuk menuju hotel, kita beli tiket bis untuk ke Siem Reap besok paginya dengan menggunakan agen bis yang sama. Tarif bis ke Siem Reap dari Phnom Penh adalah USD 5 untuk keberangkatan jam 06.30.

Setelah dapet tiket bis, kita mencari supir tuktuk yang beruntung yang akan kita sewa. Akhirnya dapatlah si mas Risme (entah gimana tulisannya) yang akan mengantar kita keliling kota Phnom Penh dengan tarif USD 15.

Tujuan pertama adalah naro barang ke hotel. Gw udah booking hotel di Velkommen Guesthouse via Agoda. Kamar yang gw pesen ada di 12 beds mixed dormintory tanpa AC seharga USD 4 per orang. Kamarnya terletak paling atas dengan langit-langit dari asbes. Siang-siang pas gw taro tas, sungguh panas. Rekomendasi gw? Nanti dulu, kita lihat apa yang terjadi malemnya, hehehe..

Berbeda dengan gw, Mete dan Neneng nyewa kamar private ber AC di hotel yang sama. Jadinya gw bisa nebeng shalat Zuhur dan Ashar di kamar mereka, hehehe..

Abis dari hotel, sekitar jam 15.00, kita lanjut ke Royal Palace, istana rajanya Kamboja. Letaknya nggak terlalu jauh dari hotel, cuma sekitar 5 menit dengan menggunakan tuktuk yang sama.

Royal Palace

Tarif masuk ke Royal Palace per orang USD 6.5. Untuk masuk kesini harus memperhatikan busana. Batasannya agak banyak seperti nggak boleh pake sleeveless shirt, celana pendek, topi, sandal, dll. Isinya ya bangunan-bangunan berlapis emas dan semacam pagoda-pagoda termasuk silver pagoda yang termahsyur itu.

Abis dari Royal Palace kita lanjut foto-foto sebentar di depan national museum yang ada di samping Royal Palace, lalu ke mini market untuk beli minuman ringan.

Tujuan selanjutnya adalah menuju Killing Field yang berada di outskirt Phnom Penh. Ternyata pernjalanannya lama banget, lebih dari setengah jam. Jam 16.45 kita baru sampe di Killing Field.

Killing Field adalah lokasi pembantaian ribuan orang pada rezim Polpot puluhan tahun lalu. Tarif masuknya USD 2. Sebenernya disewakan guide yang menggunakan rekaman dan earphone, awalnya kita sotoy nggak mau nyewa alat itu, tapi ternyata agak menyesal, karena tanpa alat itu, kita cuma bisa ngeliat lubang-lubang dan sedikit peninggalan korban pembunuhan.

Monumen yang Berisi Tengkorak Korban Pembantaian

Di lokasi ini, ada sebuah menara yang menyimpan ratusan tengkorak korban pembunuhan. Literally tengkorak. Selain itu ada juga tulang-tulang lainnya dan baju-baju para korban.

Ceritanya, dalam sehari petugas di Killing Field ini sampe kewalahan untuk ngebunuhin orang-orang yang dibawa kesini. Dalam satu hari mereka harus membunuh hingga lebih dari 300 orang, termasuk perempuan dan anak-anak.

Ada juga satu pohon yang dinamakan Magic Tree, yang khusus digunakan untuk ngebunuh balita. Caranya, balita tersebut dipegang kakinya, terus kepalanya dihantamkan ke pohon tersebut sampe mati.

Ada juga museum yang menyimpan alat-alat yang dipake untuk membantai. Mayoritas benda-benda tumpul seperti cangkul, rantai, dll. Cara pembantaian biasanya dengan menghantamkan benda-benda tersebut ke kepala korban. Merinding kalau ngebayangin kejadian nyatanya.

Sekitar jam 17.45 kita balik ke kota. Tujuan berikutnya adalah Wat Botum, semacam candi-candi gitu juga sih. Sayangnya kita sampe sana udah sekitar jam 18.30 dan sudah tutup. Akhirnya kita cuma bisa foto-foto sebentar di depannya.

Tujuan berikutnya balik ke hotel. Di jalan gw sempet berenti sebentar di KFC untuk beli makan malam. Gw beli pake burger seharga USD 1,8. Makanan tersebut kita makan di kamarnya Mete di hotel.

Setelah makan malam, kita jalan lagi ke Riverside, sebuah daerah pinggir sungai Mekong yang ada di deket hotel. Disini rameeee banget. Si Mete beli Sugar Cane (tebu) seharga KHR 2.000 dan arum manis. Kita duduk-duduk disini sampe malem.

Sekitar jam 21.00 kita balik ke hotel. Sayangnya cerita gw nggak berhenti sampe sini. Entah kenapa tiba-tiba gw nggak pede mau masuk ke kamar dorm gw. Gw ngedenger suara obrolan bule gitu pas mau masuk. You can call me weird, but I couldn't feel even more strange just to open that door. Walhasil, gw langsung check-out dan pindah hotel. Untungnya barang-barang gw masih ada di kamarnya Mete.

Ditemani Mete gw menyusuri Riverside untuk nyari hotel yang masih kosong. Akhirnya gw dapet di Royal Mekong Palace, sebuah hotel berbintang dengan tariff USD 18 per malam. Kamarnya standar hotel berbintang lah, lengkap dengan teras yang menghadap ke sungai Mekong. Sayang gw nggak terlalu lama menikmati hotel ini, secara masuknya udah malem banget dan besok pagi harus berangkat pagi-pagi lagi.

Hotel Royal Mekong Palace

Kesimpulan gw untuk Phnom Penh: Selain Killing Field, nggak ada yang terlalu berkesan. Tipikal kota berkembang di kawasan Asia. Biaya hidup sedikit lebih mahal dari HCMC tapi masih lebih murah dari Jakarta.