From Hero to Zero to Private
Bulan Agustus 2009 gw lulus S1, gw sudah bertekad mau melanjutkan S2 di bidang ekonomi dan dengan skema pembiayaan beasiswa. Untuk menjalankan tekad tersebut, gw berniat untuk tidak bekerja dan mempersiapkan berbagai keperluan terkait.
Lulus dengan predikat cumlaude dari salah satu universitas ternama di Indonesia dan puluhan pengalaman dan kegiatan semasa kuliah membuat gw pongah kalau gw akan dengan mudahnya dapet beasiswa tanpa harus punya pengalaman kerja professional.
Hingga akhir Desember 2009 gw masih terlena dengan santainya kehidupan. Gw masih menyibukkan diri dengan ngasdos dan ikut proyek kecil-kecilan untuk nambah uang saku. Bahkan gw masih sempet backpackingan ke lima negara di Asia selama dua minggu. Ceritanya dapat dilihat dalam postingan ini.
Selama periode tersebut, gw mengumpulkan beberapa surat rekomendasi. Orang-orang yang gw pilih diantaranya adalah Prof. Dorodjatun Kuntjoro-Jakti sebagai dosen yang gw asistenkan di mata kuliah Perekonomian Indonesia (tak lupa gw tambahkan embel-embel former minister for economic coordination), Prof. Suahasil Nazara sebagai dosen gw di kelas ekonomi regional dan pemberi kerja gw sebagai asisten dosen, dan Ibu Dr. Lana Soelistianingsih sebagai dosen senior dan pembimbing skripsi gw.
Satu bulan setelah kelulusan, bersama Banyu dan Isa, gw sempet daftar ADS walau hanya dengan ITP pas-pasan sebesar 570. Dengan persiapan seadanya, sudah barang pasti gw gagal di ADS tahun tersebut.
Pada pertengahan Januari 2010 gw baru ikut test IELTS. Keputusan ini pun juga karena ikut-ikutan Anggita. Tanggal 10 Januari 2010, tanpa persiapan berarti (gw hanya beli buku IELTS preparation dari Gramedia) gw mengikuti tes di IDP Pondok Indah. Alhamdulillah hasil yang keluar 13 hari berikutnya tidak terlalu mengecewakan. Overall band score 6,5. Cukup bagus untuk orang yang tidak persiapan sama sekali. Tapi sayangnya writing gw Cuma 5,5. Memang gw selalu punya masalah dalam menulis, baik dalam bahasa Indonesia apalagi bahasa inggris.
Berbekal surat rekomendasi dan IELTS, gw langsung mendaftar di Lee Kuan Yew School of Public Policy, National University of Singapore. Gw juga mendaftar skema beasiswanya. Gw lolos seleksi berkas dan ikut seleksi ujian tertulis dan interview di hotel Sari Pan Pacific Jakarta. Sayang sekali gw gagal di tes kedua tersebut.
Selanjutnya gw mendaftar ke beberapa sekolah di Eropa. Kenapa? Karena beberapa skema beasiswa meminta Letter of Acceptance (LoA) sebagai salah satu dokumen yang harus dilengkapi. Beberapa sekolah tersebut berlokasi di Belanda yaitu University of Tilburg, University of Groningen, dan Universiteit Van Amsterdam. Empat sekolah lainnya berlokasi di Inggris yaitu University of Manchester, University of St. Andrews (sekolahnya Prince William), University of Edinburgh, dan University of Strathclyde. Pemilihan sekolah-sekolah tersebut diantaranya karena mereka tidak mensyaratkan IELTS dengan “no band less than 6” dan tidak minta GRE. Alhamdulillah gw diterima di seluruh universitas tersebut, Cuma di University of Manchester gw diterima dengan conditional harus ikut semacam kursus bahasa karena writing gw 5,5.
Seluruh berkas dikirim secara langsung ke universitas-universitas tersebut. Ada cara yang efisien yang gw tempuh waktu itu. Gw (dan anggita) mengirimkan seluruh berkas yang sudah siap kirim dalam satu amplop besar ke alamatnya Caca. Kebetulan waktu itu Caca lagi S2 di University of Groningen. Tarif yang harus kita bayarkan adalah sekitar IDR700.000 (bagi dua sama Anggita). Dari belanda, caca mendistribusikan ke tujuh universitas di Eropa tersebut. Total biaya terutang ke Caca cuma sekitar IDR 360.000. Jadi total gw cuma kena sekitar IDR 700.000. Jauh lebih murah dibandingkan kalau gw harus kirim dokumen ke tujuh alamat yang berbeda di Eropa.
Setelah menerima LoA dari seluruh universitas tersebut, pada triwulan pertama 2010 gw mulai melamar beasiswa Stuned (pemerintah belanda). Gw mengapply sebagai asdos FEUI dengan pengalaman mengajar sekitar dua tahun (satu tahun setelah kelulusan). Selanjutnya juga gw mendaftar Fulbright dengan pengalaman kerja yang sama (Fulbright adalah satu-satunya skema beasiswa dan institusi yang gw daftar di Amerika Serikat. Gw, hingga kini, sangat tidak tertarik untuk belajar di AS). Gw gagal di kedua skema tersebut.
Pada triwulan kedua dan ketiga 2010, gw mulai kalap mendaftar beasiswa. Dimulai dari ADS (lagi), Erasmus Mundus (program Medeg), Huygens, NFP, KDI school of public policy Korea, DAAD, ADS, VLIR Belgia dan Eiffel Scholarship, dll. Pada saat itu gw mendaftar sebagai staf pengajar FEUI dan staf peneliti di LPEM FEUI. Dan semua usaha gw tersebut masih menemui jalan buntu.
Yang sedikit menyakitkan adalah kegagalan kedua di ADS. Pada ADS kali ini gw mendaftar dengan sertifikasi bahasa internasional (IELTS) dan dari jalur public. Artinya gw masuk dari lembaga milik negara. Gw masuk sebagai peneliti dan pengajar dari Universitas Indonesia, lengkap dengan surat rekomendasi dari Dekan FEUI dan Rektor UI. Tapi sayangnya bahkan seleksi berkas pun gw tidak lolos.
Memasuki tahun 2011, gw mulai bekerja sebagai staf Direktorat Otonomi Daerah Bappenas. Gw bukanlah orang yang segitu kepengennya untuk jadi pegawai negeri. Menerima tawaran bekerja di institusi pemerintah adalah salah satu manuver gw untuk mendapatkan beasiswa. Karena pekerja di institusi pemerintahan cukup menarik bagi para pemberi beasiswa. Dan hal tersebut cukup terbukti.
Awal tahun 2011, gw dihubungi oleh orang dari KDI School of Public Policy Korea yang menawarkan untuk memberikan gw rekomendasi untuk ikut serta di Korean Government Scholarship Program (KGSP 2011). Secara udah panik nggak kunjung dapet beasiswa, gw menerima tawaran tersebut. Di aplikasinya, selain sebagai staf pengajar dan staf peneliti di FEUI, gw menambahkan pekerjaan sebagai staf di Bappenas.
Kembali pada triwulan pertama dan kedua tahun 2011 gw kembali mendaftar di beberapa skema beasiswa:
- Chevening (pendaftaran online, LoA lebih disukai walaupun tidak menjadi persyaratan)
- Stuned (harus ada LoA, gw masukin LoA dari University of Groningen, tapi harus ada pernyataan dari Badan Kepegawaian Nasional kalau mau masuk sebagai kandidat dari kementerian; Seluruh dokumen dikirim ke kantor Nuffic Nesso di Gatot Subroto)
- Fulbright (tidak harus ada LoA; surat rekomendasi menggunakan form khusus dan harus dikirim langsung oleh pemberi rekomendasi; Seluruh dokumen dikirim ke kantor Aminef di kawasan Sudirman)
- Beasiswa Unggulan Calon Dosen (harus ada LoA, gw masukin LoA dari University of Southampton; harus ada surat perjanjian kerja dari rektor; Seluruh dokumen dikirim ke Ditjen Dikti di kawasan Senayan)
- BGF (ada LoA lebih disukai, gw masukin LoA dari University of Rennes 1 Perancis; Seluruh dokumen dikirim ke SCAC di Menteng)
- New Zealand (tidak perlu LoA, gw pilih University of Auckland sebagai pilihan pertama; seluruh dokumen termasuk akta kelahiran harus ditranslate kedalam bahasa inggris dan dilegalisir oleh notaris; Seluruh dokumen dikirim ke kedutaan besar NZ di kawasan Senayan)
- Dan beberapa beasiswa lainnya.
Sebagai persiapan, pada tanggal 7 Mei 2011, gw, Isa, dan Qisha ikut test IELTS lagi di tempat yang sama. Bedanya kali ini kita ikut workshop selama 5 hari sebelum test dimulai. Sayangnya hasil yang keluar untuk gw tidak terlalu mengesankan. Writing tetap pada posisi 5,5 walaupun overall band naik menjadi 7.
Setelah dua tahun, akhirnya perjuangan gw berbuah manis. Setelah melewati beberapa kali seleksi (termasuk wawancara via telpon dari korea dan tes kesehatan) di KGSP, untuk pertama kalinya gw lolos beasiswa tersebut dan siap berangkat pada bulan Juli 2011. Kondisi yang harus gw lalui adalah kursus bahasa korea di Hankuk University di Seoul selama setahun, dilanjutkan dengan program S2 selama 2 tahun di KDI School of Public Policy.
Tidak lama setelah melewati proses wawancara, gw pun kembali lolos di program BGF, untuk program yang dimulai September 2012. Kenapa 2012 amat ya? Ternyata gw melakukan kesalahan pada saat wawancara, gw dengan sotoynya bilang kalau uang sekolah gw adalah EUR 11.000 per tahun. Angka tersebut cuma asal sebut aja karena di Belanda uang sekolah per tahun kurang lebih segitu. Waktu wawancara, ketiga pewawancara segitu terkejutnya ngedenger tuition fee gw. Ternyata oh ternyata, Pemerintah Perancis mensubsidi universitas negeri dan faktanya adalah tuition fee untuk University of Rennes 1 hanyalah EUR 400 per tahun. No wonder mereka segitu kagetnya.
Tuition fee tersebut jauh diluar kemampuan BGF, makanya mereka memberikan opsi ke gw untuk berangkat tahun berikutnya, dan pindah ke university yang lebih murah dengan bahasa pengantar bahasa perancis. Selama satu tahun sebelum keberangkatan, mereka akan membiayain kursus bahasa prancis gw.
Walaupun gw sudah mengakui kesalahan tersebut dan melakukan klarifikasi, sekaligus memohon-mohon untuk bisa diberangkatkan tahun 2011, mereka sudah terlanjur memilih 4 orang yang akan berangkat tahun 2011 dan mereka tidak punya kemampuan lebih untuk memberangkatkan tambahan satu orang. Jadi gw harus bersabar selama satu tahun lagi.
Gw mulai bimbang dihadapkan dengan pilihan antara Korea dan Perancis. Korea memberangkatkan gw lebih cepat, tapi ranking sekolah tidak terlalu bagus dan jalan-jalan tidak terlalu fenomenal. Sedangkan Perancis mengharuskan gw bersabar satu tahun lagi, tapi dengan ranking sekolah yang tidak terlalu jelek dan jalan-jalan yang sangat gw idam-idamkan selama ini.
Akhirnya setelah berbagai macam pertimbangan, gw harus melepas Korea dan bersabar satu tahun lagi untuk berangkat ke Perancis.
Gw gagal di Beasiswa Unggulan Calon Dosen simply karena suatu alasan konyol: BERKAS GW HILANG. No comment..!!
Karena gw sudah mendapatkan kepastian beasiswa ke Perancis, akhrinya gw memutuskan untuk tidak mendaftar DAAD dan ADS untuk tahun ini.
Sekitar bulan Oktober akhir, gw mendapatkan kabar kalau gw kembali lolos beasiswa pemerintah New Zealand yang gw apply pada bulan April. Cukup lama sehingga gw sempat berasumsi kalau gw gak lolos beasiswa tersebut. Gw lolos beasiswa dan juga lolos di program Master of Art in Economics, University of Auckland. Selain itu gw juga dipersiapkan untuk berangkat pada akhir Desember 2011 atau awal Januari 2012 karena gw harus mengikuti persiapan bahasa selama 6 bulan di Auckland, Graduate Diploma (setara bachelor) selama satu tahun dari Juli 2012 hingga Juni 2013 karena mereka tidak mengakui lulusan dari Universitas Indonesia, dan program master selama satu tahun dari Juli 2013 hingga Juni 2014. Mengingat jalan-jalannya Cuma bakal sekitar NZ atau Australia, seharusnya itu menjadi pilihan mudah antara NZ atau Perancis. Tapi fakta kalau University of Auckland terutama School of Economicsnya berada pada peringkat 40 dunia, dan University of Rennes 1 berada pada peringkat 220 dunia, semuanya menjadi sangat sulit.
Setelah berminggu-minggu memikirkan antara mana yang akan gw ambil, NZ atau Perancis, akhirnya (setidaknya hingga saat ini) gw memilih Perancis dan lagi-lagi harus melepaskan satu kesempatan beasiswa ke New Zealand.
Hingga hari ini (27 Desember 2011), gw masih memantapkan diri untuk menunggu 8 bulan menuju University of Rennes 1 sambil tidak lupa mempersiapkan aplikasi Chevening yang akan memasuki deadline pada 15 Januari 2012 nanti. Mohon doanya agar gw bisa kembali lolos di Chevening sehingga gw bisa mewujudkan mimpi gw dari kecil untuk bisa kuliah di Inggris, tepatnya di University of Southampton. Amin.
Noteworthy
Dari beberapa pengalaman gw mendaftar beasiswa tersebut, ada sedikit kesimpulan yang bisa gw bagi kepada para scholarship seeker.
- Buat yang masih kuliah, maksimalkan IPK. Klise memang, tapi bagaimanapun IPK tetap memegang peran penting dalam sebuah kriteria pemilihan seseorang untuk menjadi pemenang beasiswa. IPK adalah satu-satunya alat bagi juri untuk menilai prestasi akademis kita semasa kuliah.
- Buat yang juga masih kuliah, jangan kupu-kupu alias kuliah pulang kuliah pulang. Pengalaman organisasi, apalagi yang berhubungan dengan seni dan kegiatan sosial akan sangat-sangat menjadi nilai tambah dalam sebuah aplikasi beasiswa.
- Kalau IPK sudah terlanjur tidak bisa ditolong, coba dikompensasi dengan nilai sertifikasi lain. Usahakan sertifikasi bahasa internasional (IELTS atau TOEFL IBT) sudah ditangan dengan nilai minimal 6,5 untuk IELTS (no band less than 6) dan IBT 100. Kalau bisa punya GRE akan lebih baik lagi.
- Reference letter. Usahakan punya dari tiga sumber: Profesor (atau setidaknya dosen yang sudah Ph.D) yang pernah mengajar kita secara langsung, pembimbing skripsi, dan bos di tempat kita kerja sekarang.
- Motivation letter/personal statement. Beneran deh, ini adalah hal yang paling penting dalam sebuah aplikasi. Jangan sepelekan sama sekali. Tunjukkan kalau jurusan studi yang kita tuju sangat relevan dengan program studi yang kita ambil di jenjang pendidikan sebelumnya, relevan dengan pekerjaan kita saat ini, dan relevan bagi pembangunan Indonesia secara konkrit (browsing dulu silabus dari program studi yang kita tuju). Selain itu, tunjukkan juga kalau program studi yang kita tuju akan berpengaruh terhadap peningkatan karir kita di tempat kerja saat ini, dan kita pasti akan kembali ke Indonesia setelah lulus dari program studi yang kita tuju di luar negeri, ada perjanjian kerja (re-employment) akan jauh lebih menarik. Gampangnya, gw akan membagi periode hidup gw setelah lulus S2 menjadi tiga periode: jangka pendek (kurang dari 3 tahun: gw akan kembali ke kantor saat ini), jangka menengah (antara 3-5 tahun: gw akan melanjutkan studi ke tingkat doktoral), dan jangka panjang (lebih dari 5 tahun: gw akan membuka perusahaan konsultan sendiri atau jadi staf ahli di kementerian anu).
- Thesis proposal. Walaupun tidak semua program meminta adanya thesis proposal, adanya dokumen ini dalam aplikasi akan sangat menarik. Yang paling mudah temanya adalah kelanjutan dari skripsi. Dan kita harus punya argument tentang pentingnya aplikasi thesis tersebut di Indonesia. Perkara nantinya pas tesis beneran ganti tema sih gak masalah. Yang penting lolos beasiswanya dulu aja.
- Pengalaman kerja. Walaupun tidak semua beasiswa meminta adanya pengalaman kerja, tapi secara de facto pengalaman kerja adalah hal yang sangat menentukan. Gw sudah menjalani perjuangan mencari beasiswa tanpa pengalaman kerja professional dan hasilnya adalah nol besar. Pengalaman kerja selama 2 tahun setelah kelulusan adalah hal yang paling moderat. Jika IPK tidak terlalu menonjol, coba cari pekerjaan yang unik dan berdampak langsung kepada komunitas sosial. Entah bekerja di kementerian, atau jadi guru sekalipun.
Sekian sedikit sharing pengalaman gw dalam berjuang mencari beasiswa. Pastinya banyak orang yang jauh lebih sukses dalam memperoleh beasiswa, dan sekolah dan beasiswa yang lebih berkualitas daripada yang gw dapet. Tapi setidaknya ini yang gw alami. Semoga bermanfaat bagi yang membaca. Good luck..!!