Pernahkah anda menghiraukan seorang kasir yang tidak memberikan bon atau bukti bayar kepada anda? baik itu kasir restoran, toko kelontong, parkir, dan sebagainya? Jika pernah, dan anda merasa kalau bon itu adalah hal yang tidak penting, coba pikir lagi..
Suatu hari pada saat saya mau masuk kampus UI, seperti biasa saya menyediakan uang Rp2.000,- sebagai iuran masuk dan mendapat kartu pas. Saya harus bayar karena saya tidak membeli stiker parkir karena tidak setiap hari saya membawa mobil ke kampus.
Kartu pas
Idenya berawal dari sini. Ketika kita masuk dan membayar iuran masuk sebesar Rp2.000,- kita harusnya dapet karcis kuning yang bisa kita pakai untuk masuk UI sekali lagi tanpa harus bayar.
Karcis Kuning
Tapi pada saat itu (sebenernya udah berkali2 kejadian sih) si mbak2 penjaga itu gak langsung ngasih karcis kuning tersebut. Jadi saya harus minta terlebih dahulu. Kalau saya gak minta, berarti karcis kuning yang harusnya jadi hak saya kan tetep di tangan si mbak.
Karcis kuning tersebut secara tidak langsung adalah kuitansi buat para pengendara yang bayar iuran masuk kampus yang diterima sama penjaga karcis. Si penjaga karcis tadi harus melaporkan sejumlah uang ke bagian keuangan sesuai dengan jumlah karcis yang berkurang. Sepakat?
Nah, kalau karcis tadi gak saya minta, alias masih dipegang sama si Mbak, artinya si Mbak nerima uang Rp2.000 tanpa harus melaporkan uang tersebut ke bagian keuangan. Artinya alih-alih kita bayar iuran ke UI, kita malah ngasih uang Rp2.000 ke si mbak.
Oke, apalah arti dari Rp2.000,- tapi sekecil apapun uang itu, tetep aja itu salah satu bentuk korupsi (yang notabenenya selalu diteriak2an oleh para pendemo dari UI). Dan itu baru kasus saya. Coba anda hitung berapa mobil yang lalu lalang keluar masuk UI setiap harinya yang tidak memakai stiker. Kali 30 hari. Kali 12 bulan. Barangkali bisa dipakai untuk menambah jumlah sepeda sehingga mendorong kesejahteraan masyarakat. Ya gak?
Itu baru kasus gerbatama UI, hal tersebut pernah juga terjadi pada saat saya melewati gerbang tol Pondok Indah. Saya ngasih uang pas, tapi setelah nunggu beberapa detik, dia gak juga ngasih karcis tol nya sampe saya harus minta dulu.
Dalam kasus ini jumlah uang yang masuk ke kantong si penjaga gerbang tol adalah Rp7.000,- Asumsi dalam sehari ada 10 kasus seperti itu di masing-masing tol dalam kota (yang tarifnya Rp6.500,-) dan lingkar luar jakarta, berarti kerugian tersebut selama setahun adalah sekitar 50 juta rupiah. Yeah mungkin tidak terlalu besar untuk hitungan jasa raharja, tapi tetep aja itu adalah tindakan korupsi. Haram hukumnya..
Itu baru dari UI dan tol. Masih banyak transaksi lain yang harus dibuktikan dari bon. Lebih jauh lagi. Bon tersebut mencerminkan pencatatan pendapatan perusahaan yang mengeluarkan bon tersebut. Dengan tidak adanya bon, berarti pendapatan yang dilaporkan ke pemerintah juga tidak akan sebesar seharusnya. Artinya penerimaan pajak pemerintah tidak akan sebesar penerimaan potensialnya. Dampaknya adalah pemenuhan kesejahteraan masyarakat yang tidak akan optimal.
So? mulai sekarang, jangan hiraukan bon sekecil apapun. Meskipun setelah dapet bon tersebut mau langsung dibuang, gak papa.. yang penting kita harus selalu minta bon atas transaksi yang kita lakukan (proporsional ya, kalo belanja gula di warung ya gak perlu bon lah). Demi tercapainya akuntabilitas perekonomian Indonesia. Merdeka..!! (loh??!!)