Dalam beberapa dekade terakhir, banyak negara-negara di dunia mengalami krisis mata uang (currency crises), sebagian besar diantaranya adalah negara-negara berkembang yang berada di Amerika Selatan dan Asia. Krisis mata uang secara umum diartikan sebagai tekanan terhadap nilai tukar dimana terjadinya perubahan nilai tukar yang lebih buruk dari nilai tukar yang sebelumnya sehingga mengakibatkan terjadinya perbedaan yang sangat jauh antara nilai tukar yang baru dan sebelumnya.
Faktor kunci dalam krisis nilai tukar adalah fundamental ekonomi. Teori ini, dikenal sebagai teori generasi pertama, the first generation speculative attack models, diperkenalkan oleh Krugman pada tahun 1979 dengan mengatakan bahwa krisis mata uang disebabkan oleh fundamental ekonomi yang buruk. Setelah dikembangkan lebih lanjut dikemukakan teori generasi kedua, second generation models, dengan self-fulfilling crises yang mengatakan bahwa krisis dapat muncul pada negara yang fundamentalnya baik apabila pengambil keputusan merasa biaya untuk mempertahankan nilai tukar jauh lebih besar dari manfaat yang akan diperoleh. Teori terakhir, generasi ketiga, dikenal sebagai contagion effect theory. Teori ini mengatakan krisis dapat menular dari negara satu ke negara lainnya melalui hubungan perdagangan (trade link) ataupun kesamaan fundamental ekonomi.
Salah satu krisis nilai tukar terbesar yang terjadi di Indonesia adalah krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Terdapat beberapa pandangan mengenai penyebab krisis tersebut, terutama terbagi menjadi dua pandangan utama. Pandangan pertama diungkapkan oleh Krugman (1998) dan Miskhin (1999) yang berargumen bahwa penyebab utama krisis tersebut adalah kelemahan fundamental ekonomi dan kebijakan yang tidak konsisten. Pandangan kedua yang diungkapkan oleh Radelet dan Sachs (1998), Furman dan Stiglitz (1998) menyatakan bahwa akar permasalahan krisis di Asia Timur adalah pure contagion dan pasar yang tidak rasional. Sedangkan pendapat lain dari Corsetti, Pesenti dan Roubini (1998) serta Djiwandono (1999) mengambil jalan tengah dengan mengajukan argumen bahwa contangion dan kelemahan fundamental ekonomilah yang menyebabkan terjadinya krisis di Asia.
Dampak yang paling signifikan dari krisis 1997 tersebut adalah depresiasi nilai rupiah dari sekitar Rp2.200 per dolar Amerika Serikat, hingga mencapai titik terendahnya sekitar Rp20.000 per dolar Amerika Serikat. Depresiasi rupiah mengakibatkan perbankan mengalami kolaps akibat ketidakmampuan sektor swasta membayar utang-utang berdenominasi dollar yang mencapai US$68 miliar pada akhir 1997. Utang tersebut kebayakan disumbang oleh utang korporasi non-bank (US$54 miliar). Sektor swasta ini kemudian juga dibebani oleh tingginya suku bunga perbankan akibat tingginya inflasi. Besarnya beban sektor perbankan maupun sektor swasta membuat rasio NPL (nett) melonjak hingga 34,7% dan CAR jatuh hingga -15,7% pada tahun 1998. Krisis di pasar finansial kemudian diikuti oleh krisis ekonomi akibat karena sektor riil tidak mampu mendapatkan pembiayaan yang cukup dari perbankan. Jatuhnya grade investasi Indonesia juga membuat investasi asing langsung enggan masuk.
Selain krisis mata uang tahun 1997 tersebut, Indonesia saat ini dibayang-bayangi krisis finansial global yang dipicu karena adanya perlambatan ekonomi global setelah terjadinya krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Hal tersebut dikhawatirkan akan membawa dampak terhadap perekonomian Indonesia yang diawali dari krisis mata uang. Indonesia telah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dari 6,3% pada tahun 2007 menjadi 6,1% pada tahun 2008 dan diprediksi hanya sekitar 5% pada tahun 2009. Selain penurunan pertumbuhan tersebut, pada bulan Oktober 2008 rupiah terdepresiasi dari posisi awal di kisaran Rp9.000/US$ menjadi sekitar Rp11.000/US$ .
Dalam setiap periode krisis, kerugian yang diderita oleh suatu negara biasanya tidak kecil. Untuk periode krisis 1997, Bhattacharyay (1999) mengestikamsikan kerugian kotor yang diderita oleh suatu negara dalam setiap periode berkisar antara 9% dan 20% dari PDB. Sebagai bayangan, kerugian yang diderita Indonesia pada periode krisis mata uang tahun 1997 tersebut dilihat dari sektor perbankan memakan biaya pemulihan dan restrukturisasi hampir 45% dari PDB (Suta and Musa, 2003). Biaya yang ditimbulkan oleh krisis keuangan mempengaruhi cadangan devisa dan output secara signifikan. Berdasarkan data yang dikeluarkan IMF tahun 1997, pertumbuhan GDP riil Indonesia sebesar 4,6% dan di tahun 1998 pertumbuhan tersebut hanya mencapai -13,7% yang dapat diartikan bahwa Indonesia harus menanggung biaya krisis sebesar 9,1%.
Krisis ekonomi dapat dihindarkan jika pemerintah mampu membaca sinyal akan ternyadinya krisis sehingga dapat mengantisipasi terjadinya krisis dengan kebijakan-kebijakan yang relevan, misalnya Indonesia pada krisis periode 1997 dimana sinyal yang terjadi adalah neraca berjalan yang negatif, terjadinya ekspansi kredit besar-besaran dimana kebanyakan dari kredit tersebut digunakan untuk investasi jangka panjang, serta para investor yang mulai meninggalkan Indonesia.
Kaminsky, Lezondo, dan Reinhart (2000) menyatakan bahwa tidak ada krisis yang terjadi secara mendadak. Ancaman akan datangnya krisis dapat dideteksi dengan melihat pergerakan indikator-indikator ekonomi baik mikro (posisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, suku bunga, dan uang beredar) maupun melalui indikator-indikator makro (indikator perbankan, pasar modal, dan sektor riil). Krisis yang dialami oleh Indonesia dan negara-negara lain pun tidak terjadi secara mendadak. Oleh karena itu sangat relevan apabila dibangun sebuah metode peringatan dini (early warning system) dalam sebuah perekonomian sebagai alat penangkap sinyal-sinyal terjadinya gangguan terhadap perekonomian tersebut. Dengan demikian, penanganan yang tepat terhadap gangguan tersebut dapat mencegah terjadinya sebuah krisis dalam perekonomian tersebut dan biaya kerugian yang terjadi dapat diminimalisir.
Pengembangan model Early Warning System mulai banyak dilakukan setelah terjadinya krisis di tahun 1990-an. IMF dan ADB secara jelas menyatakan bahwa dibutukannya suatu perangkat early warning system untuk mendeteksi krisis secara dini. Sejak saat itu penelitian untuk menciptakan model early warning system mulai banyak dilakukan. Penelitian tersebut diantaranya adalah yang dilakukan oleh Kamisky, Lizordo, dan Reinhat yang telah mengembangkan leading indicator of currency crises (1998), Berg dan Patillo yang menggunakan model probit (1999), Goldman dan Sachs yang menggunakan model logit (1998), dan lain-lain.
Walaupun telah banyak metode yang dikembangkan untuk mengembangkan sebuah model yang dapat memberikan peringatan dini tersebut, masih belum banyak metode yang diterapkan dalam kasus Indonesia. Sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut kebanyakan menggunakan data negara-negara Eropa ataupun Amerika Selatan. Kalaupun terdapat penelitian dengan sampel Indonesia, penelitian tersebut menggunakan metode yang tidak aktual.
Adapun beberapa penelitian yang telah dikembangkan di Indonesia antara lain adalah leading indicator oleh Eric Alexander (2003), composite leading indicator oleh Tulus Tambunan (2002), dan lain-lain.
Faktor kunci dalam krisis nilai tukar adalah fundamental ekonomi. Teori ini, dikenal sebagai teori generasi pertama, the first generation speculative attack models, diperkenalkan oleh Krugman pada tahun 1979 dengan mengatakan bahwa krisis mata uang disebabkan oleh fundamental ekonomi yang buruk. Setelah dikembangkan lebih lanjut dikemukakan teori generasi kedua, second generation models, dengan self-fulfilling crises yang mengatakan bahwa krisis dapat muncul pada negara yang fundamentalnya baik apabila pengambil keputusan merasa biaya untuk mempertahankan nilai tukar jauh lebih besar dari manfaat yang akan diperoleh. Teori terakhir, generasi ketiga, dikenal sebagai contagion effect theory. Teori ini mengatakan krisis dapat menular dari negara satu ke negara lainnya melalui hubungan perdagangan (trade link) ataupun kesamaan fundamental ekonomi.
Salah satu krisis nilai tukar terbesar yang terjadi di Indonesia adalah krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1997. Terdapat beberapa pandangan mengenai penyebab krisis tersebut, terutama terbagi menjadi dua pandangan utama. Pandangan pertama diungkapkan oleh Krugman (1998) dan Miskhin (1999) yang berargumen bahwa penyebab utama krisis tersebut adalah kelemahan fundamental ekonomi dan kebijakan yang tidak konsisten. Pandangan kedua yang diungkapkan oleh Radelet dan Sachs (1998), Furman dan Stiglitz (1998) menyatakan bahwa akar permasalahan krisis di Asia Timur adalah pure contagion dan pasar yang tidak rasional. Sedangkan pendapat lain dari Corsetti, Pesenti dan Roubini (1998) serta Djiwandono (1999) mengambil jalan tengah dengan mengajukan argumen bahwa contangion dan kelemahan fundamental ekonomilah yang menyebabkan terjadinya krisis di Asia.
Dampak yang paling signifikan dari krisis 1997 tersebut adalah depresiasi nilai rupiah dari sekitar Rp2.200 per dolar Amerika Serikat, hingga mencapai titik terendahnya sekitar Rp20.000 per dolar Amerika Serikat. Depresiasi rupiah mengakibatkan perbankan mengalami kolaps akibat ketidakmampuan sektor swasta membayar utang-utang berdenominasi dollar yang mencapai US$68 miliar pada akhir 1997. Utang tersebut kebayakan disumbang oleh utang korporasi non-bank (US$54 miliar). Sektor swasta ini kemudian juga dibebani oleh tingginya suku bunga perbankan akibat tingginya inflasi. Besarnya beban sektor perbankan maupun sektor swasta membuat rasio NPL (nett) melonjak hingga 34,7% dan CAR jatuh hingga -15,7% pada tahun 1998. Krisis di pasar finansial kemudian diikuti oleh krisis ekonomi akibat karena sektor riil tidak mampu mendapatkan pembiayaan yang cukup dari perbankan. Jatuhnya grade investasi Indonesia juga membuat investasi asing langsung enggan masuk.
Selain krisis mata uang tahun 1997 tersebut, Indonesia saat ini dibayang-bayangi krisis finansial global yang dipicu karena adanya perlambatan ekonomi global setelah terjadinya krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Hal tersebut dikhawatirkan akan membawa dampak terhadap perekonomian Indonesia yang diawali dari krisis mata uang. Indonesia telah mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi dari 6,3% pada tahun 2007 menjadi 6,1% pada tahun 2008 dan diprediksi hanya sekitar 5% pada tahun 2009. Selain penurunan pertumbuhan tersebut, pada bulan Oktober 2008 rupiah terdepresiasi dari posisi awal di kisaran Rp9.000/US$ menjadi sekitar Rp11.000/US$ .
Dalam setiap periode krisis, kerugian yang diderita oleh suatu negara biasanya tidak kecil. Untuk periode krisis 1997, Bhattacharyay (1999) mengestikamsikan kerugian kotor yang diderita oleh suatu negara dalam setiap periode berkisar antara 9% dan 20% dari PDB. Sebagai bayangan, kerugian yang diderita Indonesia pada periode krisis mata uang tahun 1997 tersebut dilihat dari sektor perbankan memakan biaya pemulihan dan restrukturisasi hampir 45% dari PDB (Suta and Musa, 2003). Biaya yang ditimbulkan oleh krisis keuangan mempengaruhi cadangan devisa dan output secara signifikan. Berdasarkan data yang dikeluarkan IMF tahun 1997, pertumbuhan GDP riil Indonesia sebesar 4,6% dan di tahun 1998 pertumbuhan tersebut hanya mencapai -13,7% yang dapat diartikan bahwa Indonesia harus menanggung biaya krisis sebesar 9,1%.
Krisis ekonomi dapat dihindarkan jika pemerintah mampu membaca sinyal akan ternyadinya krisis sehingga dapat mengantisipasi terjadinya krisis dengan kebijakan-kebijakan yang relevan, misalnya Indonesia pada krisis periode 1997 dimana sinyal yang terjadi adalah neraca berjalan yang negatif, terjadinya ekspansi kredit besar-besaran dimana kebanyakan dari kredit tersebut digunakan untuk investasi jangka panjang, serta para investor yang mulai meninggalkan Indonesia.
Kaminsky, Lezondo, dan Reinhart (2000) menyatakan bahwa tidak ada krisis yang terjadi secara mendadak. Ancaman akan datangnya krisis dapat dideteksi dengan melihat pergerakan indikator-indikator ekonomi baik mikro (posisi neraca pembayaran, pertumbuhan ekonomi, inflasi, nilai tukar, suku bunga, dan uang beredar) maupun melalui indikator-indikator makro (indikator perbankan, pasar modal, dan sektor riil). Krisis yang dialami oleh Indonesia dan negara-negara lain pun tidak terjadi secara mendadak. Oleh karena itu sangat relevan apabila dibangun sebuah metode peringatan dini (early warning system) dalam sebuah perekonomian sebagai alat penangkap sinyal-sinyal terjadinya gangguan terhadap perekonomian tersebut. Dengan demikian, penanganan yang tepat terhadap gangguan tersebut dapat mencegah terjadinya sebuah krisis dalam perekonomian tersebut dan biaya kerugian yang terjadi dapat diminimalisir.
Pengembangan model Early Warning System mulai banyak dilakukan setelah terjadinya krisis di tahun 1990-an. IMF dan ADB secara jelas menyatakan bahwa dibutukannya suatu perangkat early warning system untuk mendeteksi krisis secara dini. Sejak saat itu penelitian untuk menciptakan model early warning system mulai banyak dilakukan. Penelitian tersebut diantaranya adalah yang dilakukan oleh Kamisky, Lizordo, dan Reinhat yang telah mengembangkan leading indicator of currency crises (1998), Berg dan Patillo yang menggunakan model probit (1999), Goldman dan Sachs yang menggunakan model logit (1998), dan lain-lain.
Walaupun telah banyak metode yang dikembangkan untuk mengembangkan sebuah model yang dapat memberikan peringatan dini tersebut, masih belum banyak metode yang diterapkan dalam kasus Indonesia. Sampel-sampel yang digunakan dalam penelitian-penelitian tersebut kebanyakan menggunakan data negara-negara Eropa ataupun Amerika Selatan. Kalaupun terdapat penelitian dengan sampel Indonesia, penelitian tersebut menggunakan metode yang tidak aktual.
Adapun beberapa penelitian yang telah dikembangkan di Indonesia antara lain adalah leading indicator oleh Eric Alexander (2003), composite leading indicator oleh Tulus Tambunan (2002), dan lain-lain.